Keindahan Kota

Keindahan Kota

Oleh : Dwi Suprayitno Suhadi

Seperti biasa seminggu 2 kali aku kursus bahasa jepang di bilangan Sudirman,
Lumayan memang perjuangan yang ditempuh dari cikarang, tapi ini sudah menjadi tekad, aku melewati sudut sudut jalan, melewati perempatan-perempat an meriah, penuh glamour,penuh kesemrawutan, penuh kepenatan, kepincangan, penuh jeritan perih, penuh orang kerdil kelaparan dan melongo melihat ketimpangan, penuh mata-mata yang sehat tetapi tak mampu melihat ke ganasan kota, keganasan komodoti, keganasan yang tak terkendali, keganasan yang tak terkendali, penjajahan terselubung yang begitu rapi. Jam 8 malam lewat 15 menit aku keluar dari tempat kursus daerah Sudirman, aku ceria saja, tapi ceriaku segera hilang saat mulai masuk ke jalan, melihat semua peradaban yang jauh dari keindahan, jauh dari harapan, kepincangan ada dimana mana, aku melihat seorang ibu menggendong anaknya yang seumur jagung, umur yang saat itu seharusnya sedang ceria gembira berbinar, tapi alangkah malangnya anak anak itu., alangkah pedih perih anak itu, anak yang tak tahu apa-apa, di tenteng di gendong ala kadar dengan seuntai selendang kumal yang penuh debu jalanan, lusuh pucat kumal kucal terseok berjalan tertatih berharap sepeser rupiah di sela mobil –mobil mewah yang menunggu lampu merah yang begitu lama, hatiku menjerit pedih melihat sang anak yang terkantuk dalam gendongan selendang usang yang kumal, malangnya nasibmu nak, kemana bapakmu, di mana harapanmu, dimana ceria mu, ini hampir jam 9 malam, ini waktu sudah sangat larut untuk mu,ini waktu untuk mu bermimpi, waktu untuk bobok manis dengan dot susu yang di sediakan Ibu, aku hanya terpaku di atas jok sepeda motor ku, aku tak berdaya, aku tak bangga dengan negara, aku ingin memikirkannya tapi apa lah daya, aku merasa semua sudah biasa, semua hanya melihat saja, apakah aparat melihat semua ini? Aku tak kuasa melihatnya aku segera melaju setelah lampu merah berubah ke warna kuning, aku melaju sekenanya di sela sela mobil-mewah mengkilap dengan plat nomor yang masih baru, dengan musik keras bergema dengan sound system merek populer yang sedang trend, aku muak, penat, pedih melihat semua ini, melihat dengan mata di depan mata kepincangan- kepincangan ini. Sampai perempatan bilangan Bekasi barat kembali timing yang tidak begitu kuharap lampu merah menyala hingga aku harus berhenti, aku berontak, sesak dada ini kembali melihat semua ini, di ujung jalan, di sudut –sudut jalan, di atas jalan, semua berantakan mencari posisi yang strategis pandangan tertuju, aku pandangi satu persatu papan-papan iklan yang manis, glamour dan mencengangkan, penuh pesona kemakmuran, berdiri kokoh dengan kesombongan karena telah membayar mahal untuk itu, papan-papan iklan dengan bahasa yang ellegant smart penuh pendidikan, eksentrik paduan warna dan kata demi kata mudah terbaca, mudah di pahami, adalah menunjukkan pembuatnya yang berpendidikan dan berwawasan luas. Paduan warna pencahayaan dan aksen sorotan lampu menambah aksen mudah, ringan di mata setiap pandangan mata, Ukuran-ukuran nya yang besar adalah kesombongan tersendiri seakan menyatakan semua harus memandangi ku, semua pandangan sudah aku tutupi jangan memandang yang lain. Paduan dengan bangunan mall bergaya klasik dimamis di seberang jalan, adalah manufer pancaran aura kota tersendiri, food corner di balkon mall dengan view riuh pikuk nya perempatan adalah daya imajinasi metropolitan ala barat yang di kembangkan. Isi iklan yang menggiurkan, kemewahan, gaya hidup yang manja, menikmati hidup dalam kemakmuran,hadiah mobil mewah, perumahan-perumahan elit, rokok import terkenal yang jelas tiada mudhorotnya, berbagai jenis pulsa dengan gaya iklan masing-masing yang sangat menipu, sangat menjerumuskan, sangat tidak mendidik, sangat bebas, terpampang rapi dengan manis tanpa ada yang menggugat karena semua terlena dan tertipu. Aku sapu bersih ujung pandangan ku hingga sampai ke bawah kolong-kolong tiang pencakar papan iklan, di sana banyak sekali orang –orang kerdil, disana banyak sekali kecoak-kecoak liar yang keluar saat lampu merah menyala, saat roda-roda mobil mewah itu berhenti.

Kembali aku temukan pemandangan yang sangat menyayat hati, dia berlari –lari dengan keceriaan yang terpaksa, pakaian kumal, wajah yang lusuh, mata merah adalah kenanaran sehari ini dalam terik dan debu knalpot metropolitan, tangan nya yang lemah sekenanya memegangi mengayunkan sekenanya '' kotrekanâ€Å“yang gemercing suara nyaring tak karuan arahnya, dengan penuh harapan terus berjalan ke sela- sela mobil mewah, menunggu di bukanya jendela mobil mobl mewah itu, menuggu kepingan recehan logam untuk bekal makan esok hari, kaki lemahnya yang kurus begitu kucal terselimuti debu jalanan, legam kehitaman karena terseok letih seharian diatas aspal metropolitan tanpa alas, rintik hujan yang mulai mengguyur seakan irama bernuansa tipis menggebu, ini sudah pukul setengah sebelasan nak, ini telah larut buatmu nak, malangnya nasibmu nak, Aku kembali menjerit, menangis, tak berdaya, tak bangga pada negara, kecewa pada penguasa negera, kecewa pada aturan kebijakan negara, tapi tak kuasa tak berdaya, tak percaya semua ini, ini adalah waktu mengigaumu nak, ini saatnya dipelukan ibu, dalam kehangatan yang lembut.disaat teman seusiamu bermimpi, mengigau keasyikan bermain dengan teman nya diTPA hari tadi,

Igauan berebut pulas warna dengan adik saat belajar sore tadi, igauan-igauan yang membanggakan

penuh harapan.

''Ya Alloh ya rabb yang maha pengendali detak jantung ini, limpahkan lah karunia keberkahan Mu diatas negara hamba ini, percikkanlah secercah perbaikan hati hamba-hamba Mu yang lemah, kosong tak berdaya ini. Suburkan lah ladang – ladang kami, turunkan lah hujan yang memberi kesejahteraan di atas negeri hamba ini. Amien.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post