Artikel : KEMISKINAN BAG 2

1. Kewajiban terhadap setiap individu tercermin dalam
kewajiban bekerja dan berusaha.

Kerja dan usaha merupakan cara pertama dan utama yang
ditekankan oleh Kitab Suci Al-Quran, karena hal inilah yang
sejalan dengan naluri manusia, sekaligus juga merupakan
kehormatan dan harga dirinya.

Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kesenangan
kepada syahwat, berupa wanita (lawan seks), harta yang
banyak dari jenis emas dan perak, kuda pilihan,
binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan
hidup duniawi. dan di sisi Allah tempat kecuali yany
baik (QS Ali 'Imran: 14).

Ayat ini secara tegas menggarisbawahi dua naluri manusia,
yaitu naluri seksual yang dilukiskan sebagai "kesenangan
kepada syahwat wanita" (lawan seks), dan naluri kepemilikan
yang dipahami dari ungkapan (kesenangan kepada) "harta yang
banyak".

Sementara pakar menyatakan bahwa seakan-akan Al-Quran
menjadikan kedua naluri itu sebagai naluri pokok manusia.
Bukankah teks ayat tersebut membatasi (hashr) kesenangan hidup
duniawi pada hasil penggunaan kedua naluri itu?.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, menjelaskan bagaimana
naluri kepemilikan itu kemudian mendorong manusia bekerja dan
berusaha. Hasil kerja tersebut apabila mencukupi kebutuhannya
--dalam istilah agama-- disebut rizki (rezeki), dan bila
melebihinya disebut kasb (hasil usaha).

Kalau demikian kerja dan usaha merupakan dasar utama dalam
memperoleh kecukupan dan kelebihan. Sedang mengharapkan usaha
orang lain untuk keperluan itu, lahir dari adat kebiasaan dan
di luar naluri manusia. Memang, lanjut Ibnu Khaldun, kebiasaan
dapat membawa manusia jauh dari hakikat kemanusiaannya.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa jalan pertama dan utama yang
diajarkan Al-Quran untuk pengentasan kemiskinan adalah kerja
dan usaha yang diwajibkannya atas setiap individu yang mampu.
Puluhan ayat yang memerintahkan dan mengisyaratkan kemuliaan
bekerja. Segala pekerjaan dan usaha halal dipujinya, sedangkan
segala bentuk pengangguran dikecam dan dicelanya.

Apabila engkau telah menyelesaikan satu pekerjaan,
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (pekerjaan yang
lain, agar jangan menganggu), dan hanya kepada Tuhanmu
sajalah hendaknya kamu mengharap (QS Alam Nasyrah [94]:
7-8).

Rasulullah Saw. juga pernah bersabda:

Salah seorang di antara kamu mengambil tali, kemudian
membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya lalu
dijualnya, sehingga ditutup Allah air mukanya, itu
lebih baik daripada meminta-minta kepada orang, baik ia
diberi maupun ditolak (HR Bukhari).

Kalau di tempat seseorang berdomisili, tidak ditemukan
lapangan pekerjaan. Al-Quran menganjurkan kepada orang
tersebut untuk berhijrah mencari tempat lain, dan ketika itu
pasti dia bertemu di bumi ini, tempat perlindungan yang banyak
dan keluasan,

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah niscaya mereka
mendapat di muka bumi tempat yang luas lagi rezeki yang
banyak (QS Al-Nisa' [4]: 100).

2. Kewajiban orang lain tercermin pada jaminan satu rumpun
keluarga, dan jaminan sosial dalam bentuk zakat dan sedekah
wajib.

Sebelum menguraikan cara kedua ini, perlu terlebih dahulu
digarisbawahi bahwa menggantungkan penanggulangan problem
kemiskinan semata-mata kepada sumbangan sukarela dan keinsafan
pribadi, tidak dapat diandalkan. Teori ini telah dipraktekkan
berabad-abad lamanya, namun hasilnya tidak pernah memuaskan.

Sementara orang sering kali tidak merasa bahwa mereka
mempunyai tanggung jawab sosial, walaupun ia telah memiliki
kelebihan harta kekayaan. Karena itu diperlukan adanya
penetapan hak dan kewajiban agar tanggung jawab keadilan
sosial dapat terlaksana dengan baik.

Dalam hal ini, Al-Quran walaupun menganjurkan sumbangan
sukarela dan menekankan keinsafan pribadi, namun dalam
beberapa hal Kitab Suci ini menekankan hak dan kewajiban, baik
melalui kewajiban zakat, yang merupakan hak delapan kelompok
yang ditetapkan (QS Al-Tawbah [9]: 60) maupun melalui sedekah
wajib yang merupakan hak bagi yang meminta atau yang tidak,
namun membutuhkan bantuan:

Dalam harta mereka ada hak untuk (orang miskin yang
meminta) dan yang tidak berkecukupan (walaupun tidak
meminta) (QS Al-Dzariyat [51]: 19).

Hak dan kewajiban tersebut mempunyai kekuatan tersendiri,
karena keduanya dapat melahirkan "paksaan" kepada yang
berkewajiban untuk melaksanakannya. Bukan hanya paksaan dan
lubuk hatinya, tetapi juga atas dasar bahwa pemerintah dapat
tampil memaksakan pelaksanaan kewajiban tersebut untuk
diserahkan kepada pemilik haknya.

Dalam konteks inilah Al-Quran menetapkan kewajiban membantu
keluarga oleh rumpun keluarganya, dan kewajiban setiap
individu untuk membantu anggota masyarakatnya.

a. Jaminan satu rumpun keluarga

Boleh jadi karena satu dan lain hal seseorang tidak mampu
memperoleh kecukupan untuk kebutuhan pokoknya, maka dalam hal
ini Al-Quran datang dengan konsep kewajiban memberi nafkah
kepada keluarga, atau dengan istilah lain jaminan antar satu
rumpun keluarga sehingga setiap keluarga harus saling menjamin
dan mencukupi.

Orang-orang yang berhubungan kerabat itu sebagian lebih
berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)
(QS Al-Anfal [8]: 75).

Dan berikanlah kepada keluarga dekat haknya, juga
kepada orang miskin, dan orang yang berada dalam
perjalanan...(QS Al-Isra' [17]: 26).

Ayat ini menggarisbawahi adanya hak bagi keluarga yang tidak
mampu terhadap yang mampu. Dalam mazhab Abu Hanifah memberi
nafkah kepada anak dan cucu, atau ayah dan datuk merupakan.
Kewajiban walaupun mereka bukan muslim.

Para ahli hukum menetapkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah
mencakup sandang, pangan, papan dan perabotnya, pelayan (bagi
yang memerlukannya), mengawinkan anak bila tiba saatnya, serta
belanja untuk istri dan siapa saja yang menjadi tanggungannya.

Hendaklah orang-orang yang mempunyai kelapangan,
memberi nafkah sesuai dengan kelapangannya, dan barang
siapa sempit rezekinya maka hendaklah ia memberi nafkah
sesuai apa yang diberi Allah kepadanya (QS Al-Thalaq
[65]: 7).

b. Zakat

Dari sekumpulan ayat-ayat Al-Quran dapat disimpulkan bahwa
kewajiban zakat dan kewajiban-kewajiban keuangan lainnya,
ditetapkan Allah berdasarkan pemilikan-Nya yang mutlak atas
segala sesuatu, dan juga berdasarkan istikhlaf (penugasan
manusia sebagai khalifah) dan persaudaraan semasyarakat,
sebangsa, dan sekemanusiaan.

Apa yang berada dalam genggaman tangan seseorang atau
sekelompok orang, pada hakikatnya adalah milik Allah. Manusia
diwajibkan menyerahkan kadar tertentu dari kekayaannya untuk
kepentingan saudara-saudara mereka. Bukankah hasil-hasil
produksi, apa pun bentuknya, pada hakikatnya merupakan
pemanfaatan materi-materi yang telah diciptakan dan dimiliki
Tuhan? Bukankah manusia dalam berproduksi hanya mengadakan
perubahan, penyesuaian, atau perakitan satu bahan dengan bahan
lain yang sebelumnya telah diciptakan Allah? Seorang petani
berhasil dalam pertaniannya karena adanya irigasi, alat-alat
(walaupun sederhana), makanan, pakaian, stabilitas keamanan,
yang kesemuanya tidak mungkin dapat diwujudkan kecuali oleh
kebersamaan pribadi-pribadi tersebut, dengan kata lain
"masyarakat". Pedagang demikian pula halnya.

Siapa yang menjual dan siapa pula yang membeli kalau bukan
orang lain?

Jelas sudah bahwa keberhasilan orang kaya adalah atas
keterlibatan banyak pihak, termasuk para fakir miskin:

"Kalian mendapat kemenangan dan kecukupan berkat
orang-orang lemah di antara kalian." Demikian Nabi Saw.
bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud
melalui Abu Ad-Darda'.

Kalau demikian, wajar jika Allah Swt. sebagai pemilik segala
sesuatu, mewajibkan kepada yang berkelebihan agar menyisihkan
sebagian harta mereka untuk orang yang memerlukan.

Apabila kamu beriman dan bertakwa, Allah akan
memberikan kepada kamu ganjaran, dan Dia tidak meminta
harta bendamu (seluruhnya). Jika Tuhan meminta harta
bendamu (sebagai zakat dan sumbangan wajib) dan Dia
mendesakmu (agar engkau memberikan semuanya) niscaya
kamu akan kikir, (karenanya Dia hanya meminta sebagian
dan ketika itu bila kamu tetap kikir maka) Dia akan
menampakkan kedengkian (kecemburuan sosial) antara kamu
(QS Muhammad [47]: 36-37).

Bukan di sini tempatnya menguraikan macam-macam zakat dan
rinciannya, namun yang perlu digarisbawahi bahwa dalam
pandangan hukum Islam, zakat harta yang diberikan kepada fakir
miskin hendaknya dapat memenuhi kebutuhannya selama setahun,
bahkan seumur hidup.

Menutupi kebutuhan tersebut dapat berupa modal kerja sesuai
dengan keahlian dan keterampilan masing-masing, yang ditopang
oleh peningkatan kualitasnya. Hal lain yang perlu juga dicatat
adalah bahwa pakar-pakar hukum Islam menetapkan kebutuhan
pokok dimaksud mencakup kebutuhan sandang, pangan, papan,
seks, pendidikan, dan kesehatan.

3. Kewajiban Pemerintah

Pemerintah juga berkewajiban mencukupi setiap kebutuhan warga
negara, melalui sumber-sumber dana yang sah. Yang terpenting
di antaranya adalah pajak, baik dalam bentuk pajak perorangan,
tanah, atau perdagangan, maupun pajak tambahan lainnya yang
ditetapkan pemerintah bila sumber-sumber tersebut di atas
belum mencukupi.

*****

Al-Quran mewajibkan kepada setiap Muslim untuk berpartisipasi
menanggulangi kemiskinan sesuai dengan kemampuannya. Bagi yang
tidak memiliki kemampuan material, maka paling sedikit
partisipasinya diharapkan dalam bentuk merasakan, memikirkan,
dan mendorong pihak lain untuk berpartisipasi aktif.

Secara tegas Al-Quran mencap mereka yang enggan berpartisipasi
(walau dalam bentuk minimal) sebagai orang yang telah
mendustakan agama dan hari kemudian.

Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang
yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin (QS Al-Ma'un [107]: 1-3).

Semoga kita terhindar dari segala macam bencana demikian
itu.[]

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post