Artikel : KEMISKINAN BAG 1

Tulisan ini tidak dapat menyajikan petunjuk-petunjuk praktis
operasional tentang pengentasan kemiskinan. Karena pada
dasarnya Al-Quran --yang menjadi rujukan-- adalah kitab
petunjuk yang bersifat global. Sehingga jangankan persoalan
kemasyarakatan, masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah
mahdhah (murni) sekalipun, hampir tidak ditemukan rincian
operasionalnya kecuali dalam As-Sunnah, seperti misalnya
rincian shalat dan haji. Sementara rincian petunjuk menyangkut
segi kehidupan bermasyarakat, kalaupun ditemukan dari Sunnah
Nabi, maka hal tersebut lebih banyak berkaitan dengan kondisi
masyarakat yang beliau temui, sehingga masyarakat sesudahnya
perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan
kondisinya masing-masing, tanpa mengabaikan nilai-nilai Ilahi
itu.

Kemiskinan dan pengentasannya termasuk persoalan
kemasyarakatan, yang faktor penyebab dan tolok ukur kadarnya,
dapat berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi. Karena itu
Al-Quran tidak menetapkan kadarnya, dan tidak memberikan
petunjuk operasional yang rinci untuk pengentasannya.

SIAPA YANG DISEBUT MISKIN?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "miskin" diartikan
sebagai tidak berharta benda; serba kekurangan (berpenghasilan
rendah). Sedangkan fakir diartikan sebagai orang yang sangat
berkekurangan; atau sangat miskin.

Dari bahasa aslinya (Arab) kata miskin terambil dari kata
sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata
faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah
orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban
yang dipikulnya sedemikian berat sehingga "mematahkan" tulang
punggungnya.

Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan
Al-Quran untuk kedua istilah tersebut, para pakar Islam
berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur kemiskinan dan
kefakiran.

Sebagian mereka berpendapat bahwa fakir adalah orang yang
berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang
miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak
cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang
mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si
fakir relatif lebih baik dari si miskin.

Al-Quran dan hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti
sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas
dapat saja berubah. Namun yang pasti, Al-Quran menjadikan
setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin
yang harus dibantu.

Yusuf Qardhawi, seorang ulama kontemporer, menulis:

Menurut pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan
seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam,
sekalipun Ahl Al-Dzimmah (warga negara non-Muslim),
menderita lapar, tidak berpakaian, menggelandang (tidak
bertempat tinggal) dan membujang.

Di tempat lain, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa biaya
pengobatan dan pendidikan pun termasuk kebutuhan primer yang
harus dipenuhi.

FAKTOR PENYEBAB KEMISKINAN

Memperhatikan akar kata "miskin" yang disebut di atas sebagai
berarti diam atau tidak bergerak diperoleh kesan bahwa faktor
utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan,
atau tidak dapat bergerak dan berusaha. Keengganan berusaha
adalah penganiayaan terhadap diri sendiri, sedang
ketidakmampuan berusaha antara lain disebabkan oleh
penganiyaan manusia 1ain. Ketidakmampuan berusaha yang
disebabkan oleh orang lain diistilahkan pula dengan kemiskinan
struktural. Kesan ini lebih jelas lagi bila diperhatikan bahwa
jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan, ditujukan kepada makhluk
yang dinamainya dabbah, yang arti harfiahnya adalah yang
bergerak.

Tidak ada satu dabbah pun di bumi kecuali Allah yang
menjamin rezekinya (QS Hud [11]: 6).

Ayat ini "menjamin" siapa yang aktif bergerak mencari rezeki,
bukan yang diam menanti.

Lebih tegas lagi dinyatakannya bahwa,

Allah telah menganugerahkan kepada kamu segala apa yang
kamu minta (butuhkan dan inginkan). Jika kamu
mengitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak mampu
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia sangat aniaya
lagi sangat kufur (95 Ibrahim [14]: 34).

Pernyataan Al-Quran di atas dikemukakannya setelah menyebutkan
aneka nikmat-Nya, seperti langit, bumi, hujan, laut, bulan,
matahari, dan sebagainya.

Sumber daya alam yang disiapkan Allah untuk umat manusia tidak
terhingga dan tidak terbatas. Seandainya sesuatu telah habis,
maka ada alternatif lain yang disediakan Allah selama manusia
berusaha. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk berkata
bahwa sumber daya alam terbatas, tetapi sikap manusia terhadap
pihak lain, dan sikapnya terhadap dirinya itulah yang
menjadikan sebagian manusia tidak memperoleh sumber daya alam
tersebut.

Kemiskinan terjadi akibat adanya ketidakseimbangan dalam
perolehan atau penggunaan sumber daya alam itu, yang
diistilahkan oleh ayat di atas dengan sikap aniaya, atau
karena keengganan manusia menggali sumber daya alam itu untuk
mengangkatoya ke permukaan, atau untuk menemukan alternatif
pengganti. Dan kedua hal terakhir inilah yang diistilahkan
oleh ayat di atas dengan sikap kufur.

PANDANGAN ISLAM TENTANG KEMISKINAN

Salah satu bentuk penganiayaan manusia terhadap dirinya yang
melahirkan kemiskinan adalah pandangannya yang keliru tentang
kemiskinan. Karena itu langkah pertama yang dilaksanakan
Al-Quran adalah meluruskan persepsi yang keliru itu.

Seperti kita ketahui, sementara orang berpandangan bahwa
kemiskinan adalah sarana penyucian diri, pandangan ini bahkan
masih dianut oleh sebagian masyarakat hingga kini. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia antara lain ditemukan penjelasan
tentang arti kata "fakir" sebagai orang pang sengaja membuat
dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan
batin.

Dalam konteks penjelasan pandangan Al-Quran tentang kemiskinan
ditemukan sekian banyak ayat-ayat Al-Quran yang memuji
kecukupan, bahkan Al-Quran menganjurkan untuk memperoleh
kelebihan.

Apabila telah selesai shalat (Jumat) maka bertebaran1ah
di bumi dan carilah fadhl (kelebihan) dan Allah (QS
Al-Jum'ah [62]: 10)

Sejak dini pula Kitab Suci ini mengingatkan Nabi Muhammad Saw.
tentang betapa besar anugerah Allah kepada beliau, yang antara
lain menjadikannya berkecukupan (kaya) setelah sebelumnya
papa.

Bukankah Allah telah mendapatimu miskin kemudian Dia
menganugerahkan kepadamu kecukupan? (QS Al-Dhuha [93]:
8)

Seandainya kecukupan atau kekayaan tidak terpuji, niscaya ia
tidak dikemukakan oleh ayat di atas dalam konteks pemaparan
anugerah llahi.

Berupaya untuk memperoleh kelebihan, bahkan dibenarkan oleh
Allah walau pada musim ibadah haji sekalipun.

Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari fadhl
(kelebihan) dari Allah (di musim haji) (QS Al-Baqarah
[2]: 198).

Di sisi lain, Al-Quran mengecam mereka yang mengharamkan
hiasan duniawi yang diciptakan Allah bagi umat manusia (QS
Al-A'raf [7]: 32), dan menyatakan bahwa Allah menjanjikan
ampunan dan anugerah yang berlebih, sedang setan menjanjikan
kefakiran (QS Al-Baqarah [2]: 268).

Tak mengherankan jika dalam literatur keagamaan ditemukan
ungkapan,

Hampir saja kekafiran itu menjadi kekufuran karena Nabi
Saw. sering berdoa,

Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran,
kefakiran (HR Abu Dawd).

Ya Allah, Aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran,
kekurangan dan kehinaan, dan Aku berlindung pu1a dari
menganiaya dan dianinya (HR Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Meskipun demikian, Islam tidak menjadikan banyaknya harta
sebagai tolok ukur kekayaan, karena kekayaan yang sebenarnya
adalah kekayaan hati dan kepuasannya. Sebuah lingkaran betapa
pun kecilnya adalah sama dengan 360 derajat, tetapi betapapun
besarnya, bila tidak bulat, maka ia pasti kurang dari angka
tersebut. Karena itu, Islam mengajarkan apa yang dinamai
qann'ah, namun itu bukan berarti nrimo (menerima apa adanya),
karena seseorang tidak dapat menyandang sipat qana'ah kecuali
setelah melalui lima tahap:

a. Menginginkan kepemilikan sesuatu.

b. Berusaha sehingga memiliki sesuatu itu, dan mampu
menggunakan apa yang diinginkannya itu.

c. Mengabaikan yang telah dimiliki dan diinginkan itu
secara suka rela dan senang hati

d. Menyerahkannya kepada orang lain, dan merasa puas
dengan apa yang dimiliki sebelumnya.

BAGAIMANA CARA MENGENTASKAN KEMISKINAN?

Dalam rangka mengentaskan kemiskinan, Al-Quran menganjurkan
banyak cara yang harus ditempuh, yang secara garis besar dapat
dibagi pada tiga hal pokok.

1. Kewajiban setiap individu.
2. Kewajiban orang lain/masyarakat.
3. Kewajiban pemerintah.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post