MENIR LONDO vs TUAN TANAH

MENIR LONDO vs TUAN TANAH


"Wah, macet banget di depan - tuh liat, padahal kan sekarang malem senen, ada apa ya...?", kata saya. "Apa ga ada jalan lain..."? lanjut saya. "Putar balik aja, nanti di depan setelah jembatan ambil kiri - kita lewat jalan tikus" kata teman saya sambil tangannya menunjuk arah jalan di seberang kali sana.

Kamipun memutar motor kami, dan karena
kami belum masuk ke"tengah" kemacetan - mudah bagi kami untuk membalik arah
menghindari "kancah stres" yang hampir tiap hari kita temui. Motor saya pacu
karena jalan kebalikannya cukup kosong. Mungkin banyak kendaraan yang tertahan
dan berebut untuk berusaha menembus kemacetan. Setelah jembatan, kami belok ke
kiri dan memasuki jalan aga sepi berukuran lebar 2 mobil dan terus menelusuri
jalan tersebut. Sesekali temanku itu memberikan arahan jalan mana yang harus
dilalui. "Di depan ambil kanan ya..", sahutnya penuh keyakinan dan saya pun
yakin menjalankan kendaraan ini.



Tiba-tiba, "Lho kok di blokir
jalannya", teriak teman saya. Saya memang melihat tepat di tengah jalan ada
bangku kayu panjang - seperti bangku yang biasa dipakai tukang ketoprak atau mie
ayam pinggir jalan dan di sebelahnya duduk beberapa orang yang sepertinya sedang
menjaga penutupan jalan itu. "Motor terus aja ntar di depan bangku kecil ada
jalan ke kiri", kata salah seorang yang duduk-duduk di samping jalan yang
diblokir itu.

Sayapun melanjutkan perjalanan tanpa
berhenti sambil membunyikan klakson dan mengangkat tangan kiri saya sebagai
tanda terima kasih atas informasinya. Beberapa menit perjalanan, saya melihat
bangku yang dimaksud orang tadi dan kira-kira 300 meter sesudahnya saya melihat
sekumpulan orang sedang melakukan kegiatan keagamaan. Bangku yang dimaksud sudah
kami lewati tapi kami belum menemukan jalan yang orang itu maksud. Tidak lama
saya melihat jalan setapak selebar 2 motor dan tanpa pikir panjang kamipun masuk
jalan tersebut.



Jalan sempit tersebut cukup
gelap karena hanya diterangi oleh lampu-lampu rumah di sisi kiri dan kanannya.
Hampir disetiap pemukiman padat memang seperti ini - jalan kecil, rumah
rapet-rapet dan sesekali terlihat beberapa orang sedang duduk berkumpul di teras
salah satu rumah. Mungkin mereka jenuh berada di dalam rumah mereka dengan
segala keterbatasan ruang, sarana dan suasananya, sehingga mereka memilih untuk
berkumpul sekedar mencari angin di tempat-tempat biasanya mereka berkumpul. Bagi
warga pemukiman padat tersebut, biasanya mereka sudah hapal dimana tempat-tempat
warga lain berkumpul dan hapal pula kapan mereka akan datang untuk berkumpul.
Tiap melewati kerumunan warga tersebut, saya selalu
mematikan lampu motor, jalan perlahan dan mengucapkan kata "permisi". beberapa
kerumunan malah ada yang memakai sedikit jalan, sehingga kami harus benar-benar
perlahan agar tidak menyenggol. Belum lagi motor dari arah yang berlawanan
juga cukup membuat rintangan tersendiri.



"Gue ga tau jalannya nih...lue tau
nga?", sahut saya bertanya ke teman saya di belakang. Sambil sedikit
tertawa, teman saya bilang, "hahaha...sama sekali buta bos". Nah loh...! Tidak
ada salah satu dari kamipun yang tahu jalan yang kami lalui ini. "Jalan buntu
tuh", teriak salah satu warga yang sedang berdiri di depan salah satu rumah.
Benar saja, apa yang saya takutkan terjadi...Nyasar ! Segera saja saya memutar
motor ini dan kali ini aga kesulitan karena jalannya sangat kecil sehingga saya
harus turun dari motor untuk membalikkan arah kendaraan dan sedikit menuntunnya
ke persimpangan tadi di mana seharusnya saya belok ke kanan. "Ambil kanan Pak,
terus nanti di depan ambil kanan lagi", kata bapak yang tadi memberitahu saya
bahwa jalan yang saya lewati buntu. "Terima kasih pak", sahut kami sambil
melanjutkan perjalanan. Kamipun mengikuti informasi yang kami terima dari bapak
tersebut dan benar informasi itu mengantar kami ke jalan yang lebih besar
selebar 2 mobil yang sebelumnya kami lalui.



Saya memberhentikan motor tepat di
depan warung roko yang terletak persis di pinggir jalan dengan maksud membeli
air minum mineral dan sambil membuka helm kami, kamipun memesan satu botol air
minum mineral membukanya kemudian meminumnya. "Pak, kalo jalan ini terus
tembusnya di mana ?", tanya saya pada salah seorang yang sedang duduk santai
sambil mengangkat sebelah kakinya ke bangku. "Cempaka Putih, emang mas mau
kemana?" dia balik bertanya. "Mau ke Senen", timpal saya dengan asal menjawab
pertanyaannya.

Tidak lama berselang, ada sebuah
mobil Jeep keluaran Chrysler - jika saya tebak sepertinya keluaran terbaru dan
dari pintu sisi kirinya turun seorang anak muda berkulit bersih dan
berpenampilan rapih dan jika dilihat dari penampilannya mungkin ini anak pemilik
mobil itu atau setidaknya anak ini dari keluarga yang mempunyai tingkat ekonomi
yang lebih dari cukup.



"Permisi Pak", kata anak muda itu
sambil membukukkan kepalanya sedikit. "Mau tanya - kalo mau ke Cempaka Putih
lewat jalan mana ya Pak...?", tanyanya lagi dengan intonasi suara yang lembut.
"Oooooh...terus aja De' lewat jalan ini, ntar tembusnya di Cempaka Putih Raya
deket bengkel Honda sebelumnya ITC Cempaka", jawab Bapak yang tadi saya tanya
sambil Bapak itu bangkit dari duduknya dan menunjuk salah satu arah. "Terima
kasih ya Pak", ucap anak muda tersebut sambil kembali membungkukkan kepalanya.
Bergegas anak muda tersebut kembali naik ke mobilnya dan ketika pintu mobil
terbuka - sepintas saya lihat seorang bapak yang berpenampilan bersih dan gagah
duduk di belakang kemudi. Sebelum mobil itu melaju, anak muda tersebut membuka
kaca jendelanya lebar-lebar. "Mari Pak," kata anak muda tersebut. "Terima kasih
ya Pak," sambung bapak yang berada di belakang kemudi sambil melihat ke arah
bapak yang memberikan informasi tersebut dan bapak pemberi informasi tersebut
hanya mengangkat tangan kanannya dengan telapak tangan menghadap ke depan. Dan
mobilpun melaju meninggalkan warung roko tersebut.



Betapa sopan santunnya kedua bapak
dan anak tersebut. Hanya untuk keperluan menanyakan arah jalan saja mereka
memberhentikan kendaraannya, turun dari kendaraan dan menanyakannya dengan
sopan. Hasilnya...luar biasa, Bapak yang tadi saya tanyapun bereaksi sangat
baik. Dia bangkit dari duduknya dan mengerakan tangannya untuk mempertegas
penjelasan lisannya, sementara ketika saya yang bertanya, dia hanya menjawab
begitu saja dan tetap duduk sambil mengangkat sebelah kakinya.

Saya jadi teringat masa lalu saya ketika
masih remaja dan masih sering kongkow sama teman-teman yang lain di warung atau
pinggir jalan. Ketika itu ada seseorang yang menanyakan salah satu alamat
jalan di lingkungan tempat tinggal saya. Saat itu teman saya menjawab "tidak
tahu, tanya aja di depan" padahal saya tahu persis teman saya itu tahu alamat
yang dimaksud oleh orang itu.



Ketika saya tanya, kenapa ? "Males
gue jawabnya...lue pada liat ga gayanya...? sombong banget ! - Apasih susahnya
dia turun dari mobil terus dia tanya kita baik-baik, ini mah tau-tau "Mas, tau
jalan Delima ga..?" cuma ngelongo doang dari jendela - ga sopankan," teman saya
menjawab sambil sewot.

Lamunan saya makin jauh ke belakang, dan
jadi ingat film-film jaman penjajahan dimana para Menir-menir Belanda (Londo)
dan para Tuan-Tuan Tanah dengan angkuhnya duduk di atas kudanya atau di dalam
kereta kudanya sementara para "rakyat kebanyakan" hanya bisa menunduk sambil
duduk di tanah. Mereka (para Menir dan Tuan Tanah tersebut) jika ingin bicara
dengan "rakyat kebanyakan" mereka tidak turun dahulu dari kendaraannya, tetapi
langsung berbicara dengan cara sekenanya.



Dalam agama saya (saya kira semua
agama menganjurkan hal yang sama) orang yang sedikit memberi salam kepada orang
yang banyak dan orang yang berkendara memberi salam kepada orang yang berjalan
kaki. Artinya sudah bisa dipastikan semua dari kita sudah tahu - semata untuk
menimbulkan saling menghargai dan agar tidak menimbulkan kesenjangan atau jurang
yang lebih jauh.

Sepertinya bukan hal yang sulit
untuk dilakukan sesuatu dengan sopan santun, misalnya memberikan salam
(Assalamu'alaikum atau permisi atau apapun itu) sambil sedikit diperkuat dengan
gerakan baik itu tangan maupun kepala, intonasi suara yang santun atau apapun
bentuk kesopanan lainnya. Hasilnya...hampir bisa dipastikan lawan bicara kitapun
akan melakukan hal yang sama. Sekiranya kita masih mendapat perlakuan yang tidak
mengenakan, setidaknya kita sudah menebarkan "kelembutan" dan "Persahabatan"
sesama kita.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post