Aku Selalu Mengingat-MU?

Aku Selalu Mengingat-MU?
Oleh Mashadi
-----------------


Mihrab itu terasa amat teduh. Begitu kuat pengaruhnya. Pada
jiwa-jiwa mulia. Jiwa orang-orang yang hanya mendambakan ridha dari
Rabbnya. Tak pernah sepi. Selalu ada orang-orang duduk di dalamnya.
Dengan tangan tengadah. Berdo’a dan mengingat-Nya. Air matanya terus
menetes sepanjang malam.

Para generasi salaf, tabi’in, dan orang-orang mu’min yang mukhlisin,
terus-menerus dalam mengingat Rabbnya. Dalam lantunan dzikir yang
panjang. Mendekatkan diri. Bermunajat.
Berdo’a. Tujuannya mengharapkan
ampunan dan ridha-Nya. Dengan kesabaran yang tak terbatas. Tak pernah
merasa letih. Betapa beratnya beban itu. Mereka hanya merasakan
kenikmatan yang tak terhingga. Dapat berkalwat (berduaan). Berkalwat
bukan dengan makhluk dan nafsu. Berkalwat dengan yang menciptakan
makhluk, manusia dan seluruh jagad alam semesta, yaitu Allah Azza Wa
Jalla. Betapa manusia yang mempunyai derajat ma’rifat, dan melakukan
‘perjumpaan’ dengan Rabbnya, tak terhijab oleh apapun, karena hanya
semata-mata kesucian jiwanya. Mereka akan mendapatkan kemuliaan, yang
tidak dimiliki oleh orang lain.

Allah Azza Wa Jalla memerintahkan hambanya lebih banyak berdzikir.
“Wahai orang-orang yang beriman yang beriman! Ingatlah kepada Allah,
dengan mengingat nama-Nya,
sebanyak-banyaknya. Dan, bertasbilah
kepada-Nya pada waktu pagi dan petang”. (al-Qur’an: 33:41). Bahkan,
Allah Tabarakallahu Ta’ala, menegaskan bahwa Dia akan mengingat orang
yang ingat atau berdzikir kepada-Nya. “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun
akan ingat kepadamu”. (al-Qur’an: 152). Hubungan yang bersifat
kasualitas, timbal-balik, yang mutlak itu telah melahirkan generasi
Rabbani. Orang-orang yang ‘ittijahnya’ (orientasinya), menginginkan
kemuliaan dan kesucian. Mereka senantiasa istijabah dengan
panggilan-Nya.

Dalam sebuah hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:
“Aku ini adalah menurut dugaan hamba-Ku, dan Aku menyertaimu, di mana
saja ia berdzikir kepada-Ku. Jika ia berdzikir atau ingat kepada-Ku di
dalam hatinya, maka Aku akan ingat pula kepadanya di dalam hati-Ku, dan
kalau ia mengingat-Ku di depan umum, maka Aku akan mengingatnya pula di
depan khalayak yang lebih baik. Seandainya ia mendekatkan dirinya
kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku sehasta. Jika ia
mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya
sedepa.Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, Aku akan datang
dengan berlari”.

Begitulah. Sikap dari Allah Azza Wa Jalla terhadap hambanya. Hamba,
yang mencintai-Nya dengan diri yang tulus. Mereka yang senantiasa
berdzikir dan mengingatkan-Nya, tak akan pernah disia-siakan atas
segala permohonannya. Baginda
Rasulullah shallallahu alaihi wa salam,
Abu Bakar ra, Umar Ibn Khaththab ra, Utsman ra, Ali Ibn Tholib ra, dan
para sahabat lainnya, memberi tauladan dari generasi yang sempurna
dalam kehidupan. Menjadi cermin yang indah. Menjadi ibroh yang kekal.
Menjadi sumber yang tak kering-kering, terutama dari generasi-generasi
mendatang. Perjalanan hidup seorang hamba akan sangatlah ditentukan
bagaimana kualitas dan tingkat hubungan dengan Rabbnya. Kedudukan dan
posisi seorang hamba juga akan ditentukan oleh tingkat hubungan dengan
Allah Azza Wa Jalla.

Hari ini. Makhluk manusia terus dirundung nista dan hina.
Kehidupannya tak memiliki nilai berarti bagi masa depan kemanusiaan.
Seluruh potensi hidupnya hanya sia-sia. Berbagai simpton dan penomena
yang hadhir dalam kehidupan, cenderung akan terus mengarah kepada
kerusakan dan kehancuran yang sifatnya akut.Manusia tak dapat
menghindari kondisi itu. Dimensi krisis menjadi sangat komplek, yang
membuat manusia semakin frustasi. Mereka kehilangan kepercayaan atas
hari depan mereka. Manusia sebagai hamba menjadi sangat aneh bentuk
perilakunya. Karena penyimpangan alenasi.
Waktu-waktu yang ada
tercurahkan hanya kepada hal-hal yang artifisial. Semua itu, karena
manusia hanya ‘berdzikir’ atau ‘mengingat’ kepada mereka yang lemah,
yang tak berhak, yang terbatas, dan yang pasti akan mati. Manusia,
siang-siang malam, terus hilir-mudik, dari satu tempat ke tempat
lainnya, dan berhubungan dengan tanpa landasan tujuan yang jelas dan
bermakna. Karena, semata-mata arah kehidupannya ditujukan kepada
kehidupan yang serba nisbi atau relatif. Para pemuja kehidupan dunia
dan materialisme telah sampai di ujung, yang tak mungkin lagi dapat
menyelesaikan persoalan masa depan persoalan kemanusiaan hari ini.
Mereka akan berputar dan berkutat di antara persoalan-persoalan yang
terus tumbuh dari sistem nilai yang salah. Hakekatnya, mereka tak
pernah berdzikir dan mengingat kepada Sang Pencipta, Allah Azza Wa
Jalla, dan Yang Maha Sempurna.

Baginda Rasulullah shallalllahu alaihi wa salam, melalui khotbahnya
Beliu bersabda: “Wahai umat manusia! Negeri dunia ini adalah negeri
yang bengkok, bukan negeri yang lurus. Dunia adalah tempat kesusahan,
bukan tempat kesenangan. Barangsiapa mengetahuinya, maka ia tidak
gembira dengan kelapangan yang dimilikinya, atau bersedih karena
kesengsaraan yang dialaminya. Ketahuilah Allah menciptakan dunia
sebagai negeri tempat ujian, dan akhirat termpat kembali”.

Dunia itu akan cepat pergi. Segera berubah. Waspadalah. Kenikmatan
dunia yang sekarang ini, jangan sampai memalingkan dari mengingat-Nya.
Jangan bersusah payah memakmurkan negeri dunia yang Allah telah
pastikan akan hancur. Termasuk mereka yang memujanya.

Perbanyaklah mengingat dan berdzikir kepada Allah Azza Wa Jalla,
karena hanya dengan cara itu, yang dapat menyelamatkan hari depan
manusia. Kehidupan yang akan lebih panjang dan bersifat kekal,
dibanding dengan kehidupan dunia. Kehidupan akhirat. Ramadhan jangan
menjadi sia-sia. Wallahu ‘alam.
sumber :eramuslim.com

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post