Puasaku Tahun-Tahun Lalu

Puasaku Tahun-Tahun Lalu

".........Makan dan minumlah, dan janganlah berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan" [Al 'Araaf;7:31]
-----------
Sore itu, bulan Ramadhan tahun lalu adalah hari pertama puasa.
Meskipun aku biasa berpuasa Senin dan Kamis, tetapi puasa Ramadhan selalu membawa
kegembiraan dan suasana yang berbeda.
Apalagi anak kami yang bungsu hari itu mulai belajar berpuasa.
Aku menjanjikan jika puasanya penuh akan kuberikan hadiah, seperti juga aku menghadiahi
abangnya ketika mula pertama dia bisa berpuasa.

Aku bergegas menepikan motorku ketika kurasakan getar ponsel disaku jaketku.
Rupanya dari isteriku. "Jangan lupa ayah beli blewah atau timun suri 2 kemudian beli
kelapa muda 4, minta pada penjualnya untuk dituang ke plastik jadi tidak sulit bawanya,
saya sedang di toko dekat rumah beli sirup, beli kue-kue basah"
" Pasti", jawabku, "Jangan lupa beli juga kue lapis beras dan lupis, kelapanya yang banyak. "

Sesampai di rumah; meja makan telah sarat dipenuhi berbagai penganan, lauk, nasi, minuman.
Begitulah hampir selama sebulan, kami makan berlebihan; sehingga mudah mengantuk.
Isteriku setiap sore hari rajin ke rumahmakan membeli makanan jadi yang kemudian selalu bersisa.

Pagi hari ketika sahur kami sibuk makan dan menonton acara hiburan di TV yang penuh candaria.
Akibatnya ketika dikantor, aku merasakan produktivitas kerjaku menurun.
Padahal kantorku telah memberikan kelonggaran selama bulan puasa kantor dimulai setengah jam lebih
lambat, pulang juga demikian setengah jam lebih awal.
Aku lebih banyak duduk-duduk saja atau melama-lamakan diri berada di masjid lingkungan perkantoran.
Bukan untuk berzikir, mengingat DIA atau membaca-baca buku agama tetapi membiarkan tubuhku
berbaring di lantai masjid yang sejuk itu. Meskipun telah ada peringatan dilarang tiduran di masjid,
tetapi selama puasa larangan itu seolah tidak ada artinya.

Beberapa hari kemudian aku dan isteriku menghadiri undangan berbuka bersama yang diselenggarakan
oleh teman sekolahku yang mempunyai rizki berlebih sekaligus ia mempromosikan biro perjalanan hajinya.
Acara ini diadakan di sebuah hotel berbintang. Hidangan beraneka ragam dan sangat berlimpah ruah.
Sebelum bedug berbunyi kami dan semua tamu sudah berdatangan dan segera sibuk mengambil berbagai
macam tajil yang tersedia.
Kami ini layaknya orang-orang yang sangat kelaparan. Menyendok kolak ke mangkuk, mengambil
piring yang berisi kue-kue, puding dan kurma; mengambil cangkir, gelas-gelas minuman hangat dan dingin.

Ketika tanda berbuka terdengar serentak kami menyesap minuman dengan tergesa kemudian bergegas
sholat. Sholatpun rasanya kurang khusyu, memikirkan makanan yang sangat menggoda selera.
Saat mengambil makanan, kami memenuhi piring lebar itu dengan nasi dan lauk yang menggunung.
Mengisi penuh mangkuk-mangkuk dengan beraneka sup jagung, soto madura, tekwan....
Kami makan dengan ribut, mulut berkecipak, ditingkahi bunyi sendok dan piring yang beradu, gelak tawa,
obrolan ringan, lalu lalang ke meja hidangan untuk mencicipi semua makanan yang tersedia.
Namun demikian kapasitas perut ada batasnya; makanan itu tersisa berserakan di piring dan mangkuk.

Ketika pulang, kami melihat betapa banyak makanan yang berlebih yang tidak bisa dimakan lagi akibat
penyakit 'lapar mata' yang parah dari hampir semua undangan.
Jika dikumpulkan mungkin bisa untuk memberi makan kaum yang jarang makan lebih banyak lagi.

Begitulah dahulu; selalu setiap puasa ramadhan berlangsung kami hanya sekedar menunda makan
dan minum. Kami belum bisa menahan hawa nafsu yang berhubungan dengan urusan perut.
Kami tidak bisa merasakan penderitaan orang yang kekurangan. Setiap berbuka puasa kami selalu merasa
tidak cukup hanya berbuka dengan minum segelas teh manis hangat saja.

Puasa sekarang; aku, isteri dan anak-anakku akan berusaha menjalaninya seperti semangat puasa sebenarnya.
Berpuasa yang penuh kebaikan, mendapat ridha dan maghfirahNya, insya Allah.
Latihan berempati merasakan penderitaan orang yang kekurangan, orang-orang yang berpuasa di daerah bencana.
Lebih giat mengumpulkan uang bujet pembeli segala makanan yang berlebihan untuk disedekahkan.
Tidak melihat acara hiburan TV; waktu-waktu itu bisa aku pergunakan untuk mengkaji ilmu agama, mengaji,
lebih mendekat pada anak-anak sambil menunggu waktu Subuh.
Bukankah jika puasa Senin atau Kamis aku juga tidak melihat TV di pagi hari buta.
Makan minum di hari puasa Senin dan Kamis itu aku juga tidak menuntut yang istimewa.
Isteriku juga akan berusaha lebih cerdas membelanjakan uang dapur untuk urusan makan dan minum.
Karena setiap puasa justru timbangan badannya menjadi mekar karena ia merasa sayang melihat
makanan yang berlebihan, mau di sedekahkan tidak layak, sehingga ia makan sendiri, begitu alasannya :-)

Bulan puasa seharusnya pengeluaran belanja makan dan minum tidak bertambah bahkan sebaiknya ada kelebihan.
Bukankah kita makan hanya 2 kali. Tapi mengapa justru selama puasa pengeluaran untuk belanja dapur selalu
membengkak sampai dua kali lipat bahkan lebih?

Teman sekantorku justru ada yang berhutang setiap bulan puasa hanya untuk keperluan makan dan minum.
Sehingga dimanakah nilai puasa yang sebenarnya? Jika puasa hanya sekedar menunda makan dan minum;
tapi ketika ada kesempatan untuk bersantap, kita seolah 'membalasdendam' - dan terlalu berlebihan?

[Sebagian besar kisah nyata ini berdasarkan penuturan seorang teman]
------------ --------- --------- --------- --------- --------- -
l.meilany
030908/3ramadhan142 9h
===================================================
Menuju Ahli Dzikir, Ahli Fikir, dan Ahli Ikhtiar
===================================================
website: http://dtjakarta.or.id/
===================================================

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post