LEADER : MENGERTI DAHULU SEBELUM DIMENGERTI


Seri Artikel Home Improvement

“Sungguh anak-anak jaman sekarang susah dimengerti…”, adalah sebuah kalimat terucap yang cukup membuat saya tercenung dan menjadi pemikiran minggu-minggu terakhir ini bagi saya. Kalimat itu diucapkan oleh salah sorang tetangga saya, tinggal tidak jauh dari rumah saya. Kebetulan anak sulung-nya saat ini mulai menginjak usia remaja.
Di tengah derasnya arus informasi seakan semakin hari semakin mudah saja untuk mengetahui apa pun yang ingin kita ketahui di dunia ini. Bagaimana tidak, coba saja bandingkan dengan beberapa tahun lalu, tidak usah jauh-jauh, cukup sepuluh tahun lalu. Kita lihat jumlah stasiun televisi hanya dapat dihitung dengan jari, tapi sekarang secara regional hampir setiap wilayah memiliki stasiun siaran televisi sendiri. Belum lagi media radio yang begitu banyak pilihan baginya. Media cetak, kita bisa melihat bermacam ragam media cetak sekarang muncul di pasaran dengan berbagai segmentasi yang di bidik. Dari masalah umum konvensional, fokus ke berita politik, ekonomi dan bisnis, masalah teknologi, khusus bicara masalah olah-raga, mode, automotif, komputer, film, dunia anak-anak, gadget bahkan tabloit yang khusus bicara masalah handphone atau game komputer saja begitu luar biasa oplahnya.
Belum lagi kalau kita bicara tentang dunia internet, sekarang sudah mulai menjadi hal biasa bagi terutama bagi generasi kita dan generasi anak-anak kita. Apa yang ingin kita mengerti seakan tinggal klik, dan ribuan informasi itu seakan berada di depan mata kita.
Lalu mengapa kita begitu susah untuk mengerti isi hati dan pikiran –justru- orang-orang di sekitar sendiri? Seperti ungkapan yang diucapkan tetangga saya di atas. Seperti yang menimpa banyak orang, dimana terjadi salah paham yang tak kunjung selesai antara mereka dengan pasangan mereka sendiri, orang-orang yang setiap hari selalu kita temui dan bercakap dengannya.
Terkadang kita ikut terharu menangis atau marah oleh kesedihan kisah rumah tangga orang lain yang hidup ratusan kilometer dari tempat kita tinggal, yang dengan sangat terbuka disampaikan oleh media infotaintment di televisi. Tapi seakan hati kita menjadi membatu ketika kita mendengar keluh kesah istri kita sendiri, anak-anak kita sendiri, atau tetangga di lingkungan kita sendiri.
Banyak orang yang bisa dengan panjang lebar bercerita tentang kehidupan –yang pribadi sekalipun- para selebriti, politisi atau pesohor-pesohor tingkat dunia. Tapi ketika ditanya tentang siapa dan bagaimana tetangga sebelah rumahnya, justru tidak sedikit pun bisa menjelaskan.
Di tambah lagi, sepertinya dari pengamatan saya, semakin hari, seolah jarak komunikasi antara generasi kita dan generasi anak-anak kita semakin lebar dan semakin lebar. Seperti yang kurang lebih saya utarakan di atas, orang tua lebih mudah mengerti duduk permasalahan masalah orang lain di koran atau televisi dari pada berusaha untuk mengerti apa yang menjadi keresahan anak-anaknya. Dan sebaliknya pun, anak-anak sekarang sepertinya kalau kita amati, mereka mudah percaya kepada teman sebayanya, kepada sahabatnya, juga saat ini sebagian dari mereka lebih percaya oleh teman-teman mereka di mailist yang mungkin belum pernah sekali pun bertemu dengannya, daripada percaya kepada orang tuanya.
Contoh ungkapan tetangga saya di awal tulisan saya ini, bisa jadi sebuah ungkapan yang juga ada di hati para generasi orang tua. Mungkin sekilas bisa saya utarakan, tetangga saya tadi kira-kira berusia hampir limapuluhan, sementara anak sulungnya saat ini duduk di bangku kelas dua SMA.
Dari cerita tetangga saya tadi, ada kebiasaan anaknya yang mulai dilakukan sejak bebrapa bulan terakhir ini. Yaitu, sepulang sekolah, anaknya rela menghabiskan uang saku hariannya dan berlama-lama duduk di warnet dan pulang ke rumah ketika sore hari. “Entah apa yang dilakukannya…”, keluh tetangga saya kemudian.
Dan mungkin bisa dimaklumi, tetangga saya ini adalah seorang pengusaha menengah, yang menurut pengakuannya belum pernah sekali pun menyentuh komputer. Sehingga dapat dimengerti bahwa tentunya sangat susah baginya untuk bisa memahami kenapa anaknya sampai betah berlama-lama di depan komputer. Ditambah lagi, saat itu sang bapak ini bercerita kepada saya, bahwa anaknya setiap pulang dari warnet selalu berbicara –yang menurut anggapannya- ngalor-ngidul yang tidak bisa sedikit pun dimengerti oleh sang bapak.
Itulah kemudian yang mungkin menjadi sumber kesalah pahaman, belakangan, setiap sang anak pulang ke rumah, bila mereka meluangkan waktu bersama, selalu saja yang disampaikan si bapak bukan dalam upaya semakin mengerti dan memahami si anak, justru si bapak tetangga ini seolah memaksakan apa yang menjadi ‘penglihatannya’. Belum sempat si anak berbagi hal-hal baru yang mungkin dia temui di dunia internet, selalu saja di potong oleh sang bapak –yang mungkin untuk menutupi ketidaktahuannya- dengan bercerita panjang tentang dirinya di waktu seusia dengan anaknya dulu. “Bapak dulu….,” adalah sebuah kalimat klasik yang selalu mengawali kata-kata si bapak terhadap anaknya.
Jadilah kemudian si anak ini, yang biasanya sehabis maghrib terlihat sering sekali bercengkerama dengan bapaknya di teras depan rumah, akhir-akhir ini si anak justru sering keluar rumah ketika malam hari. Dan yang terjadi kemudian adalah sang bapak yang memberi cap si anak sebagai ‘susah dimengerti’.
Ada sebuah cerita klasik mengenai analogi tentang hal ini dan hal-hal serupa yang saya yakin terjadi pada kita sebagai orang tua.
Terdapatlah seorang bapak dengan anaknya mengunjungi sebuah pameran lukisan di kotanya. Suatu saat keduanya berhenti di sebuah lukisan abstrak yang sangat besar. Beberapa jenak keduanya memandangi lukisan itu. “sungguh lukisan yang sangat luar biasa, Ayah..”, kata si anak.
“Hmm, menurut ayah kok tidak begitu bagus ya. Si pelukis sepertinya tidak punya dasar-dasar melukis yang pakem..”, jawab si bapak.
Cukup lama mereka si anak dan si bapak ini berdebat mengenai bagus atau tidaknya lukisan ini. Yang tentunya bagus atau tidak, bukanlah bisa menjadi monopoli seseorang saja. Sampai kemudian si bapak berkata kepada anaknya, “Nih, nak. Coba pakai kacamata bapak, mungkin bisa membantu kamu dalam memberi penilaian yang lebih bagus…”.
Aneh memang, tapi kalau kita mencoba merenung, analogi seperti itulah yang dilakukan tetangga saya terhadap anaknya. Analogi itulah yang sering kita lakukan ketika kita berselisih paham dengan anak kita, dengan pasangan kita, dengan teman-teman kita.
Ketika kita berselisih paham dengan mereka, yang pertama kali kita lakukan bukan dengan cara berusaha untuk mencoba ‘melihat’ apa-apa yang mereka ‘lihat’ sehingga mereka berpendapat demikian. Tapi justru pertama kali kita mencoba memaksakan ‘penglihatan’ kita kepada mereka. Selalu menganggap apa saja yang baik untuk kita pastilah baik untuk anak-anak kita. Selalu menganggap semua yang pernah kita lakukan dulu harus menjadi contoh yang baik untuk dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita.
Respon ‘otobiografik’ seakan menjadi respon baku bagi mereka yang merasa bahwa apa yang dilakukan oleh orang lain adalah keliru.
Saat ini saya mencoba menghubung-hubungkan logika di kepala saya, sampailah saya pada kesimpulan sementara ini bahwa apa yang terjadi dengan tetangga saya, saya pikir justru dialah yang ‘susah dimengerti’. Karena justru sang bapak ini yang sudah menjalani hidup lebih lama dari anaknya yang seharusnya lebih bisa mengerti anaknya.
Hmm, mengerti dahulu sebelum dimengerti, terkadang memang susah untuk dimengerti..

13 Agustus 2006
Pitoyo Amrih
www.pitoyo.com - home improvement
bersama memberdayakan diri dan keluarga
pembelajar.com

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post