CERPEN : Anugerah Dewa

Hidup dan keluar sebagai pemenang! Itulah tujuan yang pantas bagi setiap orang. Anehnya, kita menutup jalur-jalur sukses kita sendiri, karena berkat kepicikan dan ketamakan kita, kita menjadi terlalu terfokus pada kepentingan diri sendiri, sampai lupa bersyukur atas jasa dan sumbangan orang. Bahkan tak jarang kita tak segan-segan berbuat curang, karena mata kita buta terhadap cara ampuh pengamanan kepentingan jangka panjang. Kita kadang lupa bahwa, kalaupun barangkali pernah ada, jarang sekali jalan curang itu menuntun kita ke kehidupan yang benar-benar sejahtera. Kita kadang buta bahwa ada saatnya ketika cara curang itu justru akan memunculkan efek bumerang.
Anda ingin mendengarkan sebuah dongeng kuno? Saya akan menceritakan kembali sebuah kisah yang pernah saya baca dari karya Michael C. Tang. Judulnya: A Victor's Reflection and Other Tales of China's Timeless Wisdom for Leaders (Prentice Hall Press, 2000).
Syahdan di suatu hari, di masa Dinasti Yuan, pada abad ke tujuh belas, seorang anak pergi ke pasar untuk belanja sayur, buat lauk kelurganya. Pagi buta, hari masih gelap. Di tengah jalan, ia menemukan bundelan. Celingak-celinguk ke kanan-kiri, tak dilihatnya seorang pun. Diambilnya bundelan itu, dan ia dapati uang perak sebanyak 150 keping. Tergetar oleh ketakjuban terhadap jumlah uang yang belum pernah ia lihat dan pegang itu, buru-buru ia tutup bundelannya, dan bergegas ke pasar.
Hari ini benar-benar istimewa, dan karena itu sepantasnyalah bila ia ingin merayakannya. Diambilnya satu keping perak, dan dengan itu tidak hanya sayur yang ia beli, tetapi juga beras, daging, dan bahan makanan lain sebagai persediaan.
"Ibu, Ibu, lihat!" katanya sesampai di rumah, hampir berbisik, sambil meletakkan barang belanjaannya. "Aku dapat uang di jalan, Bu. Seratus lima puluh keping perak!"
"Apa?!" Ibunya membelalak kaget campur gembira. Uang sebanyak itu baginya seperti sihir yang bisa membalikkan kemurungan menjadi suka cita. Tapi tak lama. Segera ia ingat kebijaksanaan tradisional yang dihidupi oleh orang-orang sederhana di desa.
"Kamu jangan macam-macam, ya! Bisa saja orang kehilangan uang ... satu dua kepeng uang recehan jatuh di jalan, tapi tak mungkin satu bundel uang perak begini! Awas kalau kamu mencuri! Kamu tahu, kan? Barang haram membawa laknat. Tak akan pernah kita bahagia karenanya ... Ayo katakan, dari siapa uang itu kamu curi?!"
Anak itu terdiam. Tak disangka, ibunya justru curiga. Karena diamnya itu, ibunya justru semakin percaya bahwa anaknya telah mendapatkan uang itu dengan cara-cara yang tidak jujur.
"Ayo kembalikan, atau kamu kulaporkan kepada prajurit punggawa kerajaan!"
"Ibu, aku benar-benar menemukannya di jalan. Aku tidak mencuri, Bu, bagaimana aku bisa mengembalikan kepada pemiliknya?"
"Kalaupun kamu menemukannya, itu pun bukan hak kita. Tak sepantasnya kita hidup senang di atas kesusahan orang lain yang kehilangan miliknya yang berharga. Pergi sana, dan tunggu saja di dekat tempat kamu menemukannya. Kalau ada yang mencari-cari, kamu akan tahu kepada siapa kamu harus mengembalikannya! Kita ini miskin, dan tak punya uang untuk membeli beras dan semua bahan makanan sebanyak ini. Tetapi, itu masih lebih baik daripada mengundang kutukan dengan uang yang tak ketahuan juntrungannya!"
Anak itu pergi ke tempat bundelan itu ditemukan. Ketika ada orang yang mencari-cari sesuatu, ia mendekatinya. Anak itu memang amat lugu. Ketika tahu bahwa orang itu mencari uangnya yang hilang, tanpa tanya berapa jumlahnya, ia segera menyerahkan bundelannya.
Seorang yang kebetulan lewat dan menyaksikan adegan itu, menyarankan kepada si empunya bundelan untuk menghadiahi anak itu.
"Hadiah? Hadiah apa?! Saya kehilangan 300 keping perak, dan katanya dia hanya menemukan 150. Itu pun kurang satu keping karena telah dia belanjakan! Di mana 150 keping yang lain?! Kalau saya harus memberi hadiah, kekurangan 151 keping itu sudah jauh lebih dari sekadar hadiah!" katanya sengit.
Ucapan itu tentu saja menimbulkan pertengkaran mulut antara anak yang menemukan bundelan dengan orang yang tak tahu diuntung itu. Pertengkaran itu bahkan menjadi berkepanjangan, dan untuk memecahkan masalahnya, mereka menghadap Tetua Desa.
Sementara Tetua Desa menanyai kedua orang itu, dia juga mengutus orang untuk mencari tahu perkaranya dari ibu anak itu. Ketika diketahui bahwa cerita anak tersebut sesuai dengan cerita ibunya, Sang Tetua mendekati orang yang mengaku kehilangan 300 keping perak.
"Baiklah, Saudaraku, kamu kehilangan bundelan berisi 300 keping perak. Benar begitu?"
"Ya! Kalau perlu, saya bahkan berani bersumpah demi para Dewa!"
"Baiklah, sekarang, Nak, kamu hanya menemukan bundelan ini, dan kamu bilang
bahwa isinya cuma 150 keping perak?"
"Benar, Pak! Saya minta maaf, karena satu keping perak telah saya belanjakan untuk membeli bahan-bahan makanan."
"Baiklah. Ini surat pernyataannya. Yang hilang berjumlah 300, yang ditemukan 150. Tolong, kalian berdua menandatangani pernyataan ini!"
Saudagar kaya itu segera membubuhkan tandatangannya; sementara anak itu celingak-celinguk, tak tahu apa yang harus diperbuat, karena dia tidak bisa menulis. Setelah beberapa saat, dia ingat cerita yang pernah dia dengar dari ayahnya: digigitnya ujung jari telunjuknya sampai keluar darah, lalu membubuhkannya di atas kertas tersebut.
Setelah keduanya membubuhkan tanda pengukuhan atas pernyataan mereka, Tetua Desa berdiri tegak menghadap orang-orang yang sejak tadi datang berkerumun untuk menyaksikan kejadian itu.
"Saudara-saudara sekalian! Saudara kita, saudagar kaya dari kota, telah menyatakan kehilangan uang sebanyak 300 keping perak, di jalan, entah di mana persisnya. Kita telah mendapatkan tandatangannya yang menguatkan pengakuannya."
Sambil mengangkat kertas bertandatangan, ia mendekati anak yang berperkara itu.
"Kita juga punya tanda pengukuhan anak ini, untuk menguatkan pengakuannya. Kita tahu bahwa anak ini tadinya menyerahkan bundelan uang yang katanya ia temukan, tapi jumlahnya hanya 150 keping perak."
Sang Tetua berhenti sejenak agar para hadirin memiliki kesempatan untuk menimbang betapa anak itu punya niat baik untuk mengembalikan temuannya.
"Karena itu, saudara sekalian, saya simpulkan bahwa uang 150 keping perak yang ditemukan oleh anak ini adalah anugerah Dewa. Inilah bentuk kemurahan hati dari para Dewa junjungan kita, untuk anak yang lurus hati dan tidak serakah ini... yang kejujuran dan ketidak-tamakannya bahkan terbukti di hadapan kita semua. Kita semua mendengar tadi, bahwa anak ini telah menyerahkan bundelan uang itu, kepada orang yang dikira si empunya. Sekali lagi, dikira si empunya! Tetapi, ternyata ia keliru sangka, sebab saudara kita, saudagar kaya dari kota ini, tidak kehilangan 150, tetapi 300. Karena itu, dengan kuasa penuh yang selama ini saya miliki untuk memutuskan perkara, anugerah Dewa ini saya serahkan kepada anak ini, karena dialah yang memang berhak atasnya. Sedangkan saudara kita, saudagar kaya dari kota, saya persilakan untuk mencari uangnya yang hilang di tempat lain. Kita semua ikut
berharap, semoga dia masih bisa menemukannya di suatu tempat di sepanjang jalan yang tadinya dia lalui!"
Tok! Tok! Tok! Ketukan palu telah menutup sidang perkara itu. Hadirin merasa bahwa putusan itu benar-benar masuk akal dan adil. Banyak di antaranya yang mengulum senyum dan bertepuk gembira karena mengetahui ironinya. Anak lugu tadi pulang dengan senyuman lebar sambil menenteng bundelannya; sementara si saudagar kaya yang tadinya siap untuk bersumpah demi para Dewa itu kini ngeluyur dengan sumpah serapah!
Hidup dan keluar sebagai pemenang adalah tujuan yang pantas bagi setiap dan semua orang. Dan itu bisa kita pastikan dengan mengembangkan sikap bersyukur atas jasa dan kebaikan hati banyak orang. Kita juga bisa memastikannya dengan menghindari jalan curang, kalau kita tidak ingin kena efek bumerang yang tadinya justru kita pakai untuk menyerang.

Sumber: A Victor's Reflection and Other Tales of China's Timeless Wisdom for Leaders by Michael C. Tang, Prentice Hall Press, 2000.

Post a Comment

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Previous Post Next Post